Negara dalam Tatahukum Islam

Negara dalam Tatahukum Islam

oleh : Asrir

# Pengertian imamah. Abu Hasan al-Mawardi berkata : Imamah itu ialah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengendalikan dunia. Ringkasnya : Imamah adalah pelaksana pengganti kenabian dalam tugasnya memelihara agama dan politik duniawi.
Pengertian ini mengandung tiga unsur : 1. Imamah itu adalah tidak lain dari mengganti kedudukan Nabi. 2. Objek imamah ialah menjaga agama. 3. Mengendalikan masyarakat.
Dengan pengertian ini terkandung bahwa tugas kepala anegara, ialah “memelihara dan melindungi agama, bahkan meluaskan dan mengembangkannya”. Masuk ke dalam pemeliharaan ini, keharusan kepala negara membuktikan dengan amal perbuatannya, bahwa dia adalah “pemelihara agama”, lagi memperhatikan urusan-urusannya.
Dalam pengertian ini juga terkandung bahwa imamah bukanlah hak seseorang, atau hak segolongan saja, atau merupakan hak istimewa bagi seseorang. Yang dikehendaki dari imamah itu ialah tertunainya tugas yang harus ditunaikan, yang telah dinashkan, bukan adanya seseorang, atau beberapa orang.
# Keharusan adanya imamah
1 Ijma’ul ummah. Ijmak para shahabat untuk memilih dan mengangkat khalaifah sesudah Rasulullah saw wafat.
2 Menolak bencana-bencana yang ditimbulkan oleh kacau balau keadaan. Tanpa pemimpin akan timbul kekacauan yang akan mengakibatkan bencana.
3 Melaksanakan tugas-tugas keagamaan. Pelaksanaan syari’at memerlukan negara. Al-Ghazali berkata dalam al-Iqtishad fil I’tiqad : Dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak terkecuali dengan adanya penguasa yang dita’ati. Oleh karenanya orang mengatakan : “Agama dan penguasa, dua saudara kembar”. Dan karenanya pula orang mengatakan : “Agama adalah sendi, sedang penguasa adalah pengawal”. Sesuatu yang tak ada sendi, akan hancur. Dan sesuatu yang tak ada pengawal akan sia-sia.
4 Mewujudkan keadilan yang sempurna, berdasar hukum Allah.
# Tujuan pembentukan imamah. Maksud yang umum dari tegaknya negara dalam Islam , ialah supaya pemerintahan itu menjadi suatu media yang dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tertentu.
Negara bekerja untuk mencapai dua tujuan utama :
1 menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
2 menegakkan sistem berkenaan dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, menyebarkan kebaikan, dan kebajikan dan memerintahkan yang makruf, mencegah kemunkaran, memberikan kemudahan kepada rakyat untuk menyembah Allah, memungkinkan setiap rakyat untuk hidup dalam sistem Islam dan melaksanakan urusan-urusan berdasarkan undang-undang Islam, melindungi kepentingan rakyat dan masyarakat dengan sistem yang telah digariskan oleh Allah swt, menjamin kepentingan ummat di dunia dan di akhirat, menegakkan sistem kehidupan Islami dengan sempurna, memerintahkan segala yang makruf (meberkan kebaikan), mencegah kemunkaran (membasmi kejahatan dan kerusakan), menciptakan sistem keagamaan yang murni.
# Kehendak umum. Pemilihan Kepala Negara haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, dan haruslah pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum melalaui permusyawaratan. Persetujuan umum ialah yang dihasilkan oleh kehendak umum (volunte generale/publik opini) yang merdeka.
Ibnu Khaldun berkata : Adalah mereka apabila membai’atkan seseorang Amir dan mengikatkan perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangan mereka di tangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena aitu dinamakanlah dia bai’at (akad, kontrak, ikrar, janji).
# Kewajiban umum :
1 menegakkan pemerintahan Islam seagai yang dikehendaki oleh agama.
2 mengadakan mahkamah (pengadilan) dan memperhatikan segala perbuatan-perbuatan penganiayaan yang terjadi di dalam masyarakat.
3 jihad, memerangi kezaliman, memelihara kemerdekaan, melepaskan manusia ari belenggu perbudakan.
4 menyuruh makruf dan mencegah munkar, mengawasi berjalan tidaknya undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan, melindungi masyarakat dari segala tipu daya, menjalankan hak kontrol (kebeasan mengemukakan kritikan).
5 mengembangkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia (sain-teknologi-budaya).
6 bantu membantu dalam masyarakat (ta’awun), sehingga tidak ada yang tidak mendapat kebutuhannya : a. bantuan agar setiap orang mampu berdikari, b. bantuan agar setiap orang dapat mencari sarana hidup. Imam Ibnu Hazmin berkata : “Kewajiban para hartawan dalam negara Islam adalah menolong orang yang melarat. Negara bahkan boleh memaksa berbuat demikian, jika sekiranya Baitulmal atau zakat tidak mencukupi keperluan itu. Bantuan hendaklah berupa makanan pokok dan pakaian, serta tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan dan panas, dan gangguan lainnya”.
# Perlengkapan imamah : 1.Wazir (menteri), 2. Amir (Kepala Daerah), 3. Pimpinan tentara, Qadha (mahkamah dan kejaksaan agung), 4. Hakim daerah, pengutip pajak daerah, pengutip zakat daerah, 5. Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahlul Ikhtiyar, Ahlus Syura, Majlis Syura).
Khalifah Umar ibnul Khaththab mengangkat ‘Abdullah ibnu ‘Utbah menjadi pegawai hisbah di kota Madinah (semacam polisi ekonomi atau peawai kotapraja) untuk melaksanakan tugas menyuruh makruf, menegahkan munkar.
Khalifah Umar ibul Khaththab juga menyusun dewan-dewan (jawatan-jawatan), mendirikan Baitulmal, menempa mata uang, membentuk tentara, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim, mengatur perjalanan pos, menciptakan tahun hijrah, disamping mengadakan hisbah (pengawasan terhadapo pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).
Khalifah Mu’awiyah mengadakan dinas pos, mendirikan kantor cap (percetakan mata uang). Khalifah Umar ibnul Azis memperbaiki dinas pos.
# Dasar-dasar pemerintahan Islam :
1 Kekuasaan perundang-undangan Ilahi, Ketaaaaaaauhidan, Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid).
2 Keadilan sosial yang merata antara manusia (‘adalah ijtima’iyah) : a. Persamaan antara kaum muslimin. Persamaan Hak (Kedudukan) di hadapan undang-undang. Persaudaraan dan Persatuan (ikhwah diniyah). C. Keadilan dan Kemakmuran. C. Keadilan bagi golongan yang bukan Muslim.
3 Pertanggungjawaban sosial bersama (takaful ijtima’I). Amr bil-ma’ruf nahyu ‘anil munkar, memberi nasehat (kritik dan kecaman yang benar serta jujur) kepada kepala neara dan pembesar-pembesar, mengeritik dan mengecam dengan cara-cara yang tepat dan dibenarkan, mengawas terlaksananya undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan.
4 Permusyawaratan (Syura, Kedaulatan Rakyat).
5 Ketaatan dalam hal kebajikan.
6 Terlarang berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri.
# Cara pengangkatan imamah :
1 Pemilihan umum yang dilakukan wakil-wakil rakyat, kemudian setelah itu seluruh rakyat ikut menyetujuinya (membai’atnya). Abu Bakar Shiddik dipilih dan diangkat oleh tokoh-tokoh sahabat yang berkumpul di Saqifah Bani Sa’adiyah di Madinah. Bai’ah Abu Bakar mula-mulanya diangkat oleh lima orang yang terdiri dari : Umar ibn Khaththab, Abu Ubaidah, Usaid ibn Hudhair, Basyir ibn Sa’ad, dan Salim maula Abi Hudzaifah. Al-Ghazali mengemukakan : “Andaikan Abu Bakar hanya dibai’atkan oleh Umar saja, sedang orang lain menantang, tentulah pengangkatan itu tidak dipandang sah.
2 Pemilihan dilakukan oleh Kepala Negara yang akan diganti dengan mengajukan calon yang akan menggantikannya setelah menyelami pendapt rakyat. Khalaifah Abu Bakar mengajukan Umar bin Khaththab sebagai calon Khalfah. Hal ini diterima baik, dan kemudian oleh calon Khalifah. Hal ini diterima baik, dan kemudian dibai’at oleh kaum Muslimin. At-Tabrani berkata : Abu Bakar tidak meneryahkan imamah kepada Umar, terkeculai sesudah bermusyawarah dengan para shahabat. Mereka semua menyetujui Umar ditunjuk sebagai pengganti Abu Bakar. Sesudah cukup bermusyawarah barulah Abu Bakar mengemukakan pendapatnya kepada umum dan disambut oleh mereka dengan sam’na wa atha’na.
3 Pembentukan komisi (formatur, daftar calon) untuk dipilih salah seorang dari mereka untuk dibai’at oleh kaum Muslimin sebagai Khalifah. Pembentukaan komisi dilakukan oleh kepala negara yang akan diganti. Hasil kesepakatana disampaikan kepada rakyat untuk disahkan (dibai’at) Khalifah Umar bin Khaththab menyerahkan pencalonan Khalifah baru kepada ahlus sssyura (yang terdiri dari enam orang) supaya mengangkat salah seorang di antara mereka dengan persetujuan yang lima orang lagi untuk diajukan kepada kaum Muslimin agar dibai’at seagai Khalifah baru. Hal ini dibenarkan oleh para sahabat. Kelompok enam ini kemudian memilih Utsman bin Affan dan mengajukan kepada kaum muslimin, kemudian mereka membai’atnya.
# Ahlul Ikhtiyar. Ahlul ikhtiyar atau Ahlul halli wal Aqdi (Perwakilan) adalah sekumpulan orang-orang yang diserahkan kepadanya memilih Kepala Negara, yang melakukan akad (mengikat).
# Syarat-syarat ahlul ikhtiyar. Al-Mawardi menerangkan syarat-syarat yang \harus dipenuhi oleh ahlul ikhtiyar : 1. Dikenal sebagai orang yang adil. Keadilan yang memiliki segala syarat-syaratnya. 2. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan orang yang berhak dan memenuhi syarat menjadi kepala negara. 3. Mempunyai pikiran yang sempurna dan kecakapan. Mempunyai kebijaksanaan, akal yang kuat, kecerdikan, tajam penyelidikan, dan mempunyai pandangan jauh.
# Syarat-syarat imam : 1. Mempunyai pengalaman dan kemampuan berijtihad. Mempunyai kecerdasan dalam bidang politik, peperangan (militer), dan pemerintahan umum (manajemen). Mempunyai keadilan, ketakwaan dan wara’. 4. Mempunyai kebranian, rasa tanggungjawab, sabar dan tabah mempertahankan negara dan memerangi musuh. 5. Sehat jasmani, rohani dan sosial. 6. Seorang Muslim, merdeka, lelaki, baligh, berakal.
# Kewajiban-kewajiban pemimpin. Pada garis besarnya kewajiban pimpinan hanya dua, yaitu : 1. Menegakkan agama Islam. 2. Mengatur urusan agama dalam batas hukum agama. Al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkamul Sulthaniyah menyebutkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh khalifah (kepala negara) sebagai beikut : 1. Menjaga ajaran-ajaran pokok agama dalam bentuk yang benar. 2. Melaksanakan hukum yang adil di antara ummat yang bersengketa atau berselisih. 3. Menjaga keamanan dalam negeri, supaya ummat dapat mengurus kehidupannya dengan aman. 4. Menerapkan hukum bagi yang melanggar hukum-hukum Allah. 5. Menjaga keamanan negara dari gangguan negara asing dengan mempersiapkan kekuatan, mengadakan hubungan luar negeri, dan juga menyatakan perang dan damai. 6. Jihad bagi yang menentang Islam. 7> Memungut zakat, sedekah, pajak, dan lain-lain, sebagaimana yang telah diwajibkan oleh ketentuan agama, dan menghukum atau memerangi bagi orang yang mengingkarinya. 8. Memberikan penghargaan dan jasa bagi yang berhak dari baitulmal (perendaharaan negara) dengan imbalan yang sederhana. 9. Melimpahkan dan mempercayakan tugas-tugas negara kepada orang-orang dan tokoh-tokoh yang loyal terhadap pemerintah. 10. Secara langsung mengamati keadaan ummat yang berhubungan dengan kepentingan dan pelaksanaan agama mereka.
# Amar bil Ma’ruf, Nahyu ‘anil Munkar. Pertanggungjawaban Kepala Negara di dalam Islam ialah : 1. Pertanggungjawaban di hadapan rakyat. 2. Pertanggungjawban di hadapan Tuhan. Kepala Negara menerima kekuasaan dengan melalui bai’at yang diberikan rakyat kepadanya. Rakyat memberikan kepada Kepala Negara hak memerintah dan mengendalikan kekuasaan. Kepala Negara tidak lain hanyalah wakil rakyat. Rakyat berhak meminta pertanggungjawaban kepada Kepala Negara. Rakyat berhak pula memakzulkan Kepala Negara apabila diperoleh sebab-sebab untuk itu. Rakyat bertindak mengawasi tindak tanduk Kepala Negara, memberikan nasehat (teguran dan kecaman yang membangun). Tegasnya Rakyat mempunyai hak mengangkat dan memakzulkannya. Rakyat melakukan tindakan sosial kontrol, mengawasi pelaksanaan undang-undang, membasmi segala jalan-jalan kejahatan.
# Permusyawaratan. Sunnah amaliyah Rasulullah penuh dengan bukti-buktu yang menunjukkan bahwasanya Rasul selalu bermusyawarah dengan shahabat. Nabi bermusyawarah tentang tempat yang baik diduduki oleh tentara Islam dalam Perang Badar. Beliau bermusyawarah tentang tawanan-tawanan yang ditawan dalam pertempuran itu.
# Hal-hal yang dimusyawarahkan. Hal-hal yang dapat dimusyawarahkan oleh ummat meliputi beberapa bidang urusan negara, dan juga dalam bidang hukum ijtihadiyah yang tidak ada nash atau nash tidak jelas. Ringkasnya Kepala Negara harus bermusyawarah dalam masalah agama dan dunia dengan ummat melalui wakil-wakilnya (Prof Dr TM Hasbi Ash-Shiddieqy : “Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam”, 1991, Zaini Ahmad Noeh : “Bercermin Fiqih al-Mawardi”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 52-60)

  1. Leave a comment

Leave a comment